Cari Blog Ini

Kamis, 29 April 2010

Rakai Panamkaran Dyah Sankhara Sri Sangramadhananjaya

By Bambang Budi Utomo
(Terbitan berkala arkeologi Amerta no.11, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional 1989)

I
Nama Panamkaran ditemukan dalam prasasti Kalasan tahun 778 M (... maharajam dyah pancapanam), prasasti Mentyasih tahun 907 M (...sri maharaja rakai panamkaran), dan prasasti Wanua Tnah III tahun 908 M (... rakai panankaran). Adapun yang menjadi persoalan tokoh ini ditemukan pada prasasti Kalasan; bahwa dalam prasasti itu antara lain disebutkan, Gururaja Sailendra mohon kepada Maharaja dyah Pancapana Panamkaran, agar beliau membangun bangunan suci untuk dewi Tara dan untuk keperluan pemeliharaannya, desa Kalasan dijadikan tanah perdikan (Slamet Mulyana 1981:146). Persoalannya, apakah Panamkaran yang disebutkan itu berkedudukan sebagai raja bawahan yang bukan anggota wangsa Sailendra atau sebaliknya, karena dalam prasasti itu seolah-olah terdapat dua nama, Sailendraraja dan Panamkaran (van Naerssen 1947: 249-253).

Mengenai persoalan itu sudah banyak dibicarakan oleh para ahli sejarah kuna, dan lagi telah diterangkan dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia II. Dalam tulisan ini saya coba menerangkan bahwa Panamkaran termasuk keluarga Sailendra. Untuk itu saya hendak memulainya dari pendahulu Panamkaran.


II
Di Indonesia nama Sailendrawamsa dijumpai pertama kali dalam prasasti Kalasan tahun 778 M. Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak tahun 782 M (Bosch 1928 : 1-56), dalam prasasti Abhayagiriwihara tahun 792 M (Damais 1970 : 512), dan prasasti Kayuwuhan tahun 824M (de Casparis 1956 : 38-41). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor tahun 775 M (Coedes 1912 : 19-31) dan prasasti Nalanda (Bosch 1925 : 509-527). Mengenai asal usul wangsa Sailendra banyak dipermasalahkan oleh beberapa sarjana. Majundar berpendapat bahwa wangsa Sailendra di Indonesia, baik yang di Sriwijaya (Sumatra) maupun yang di Jawa, berasal dari Kalingga, India Selatan (1933:121-144), Coedes lebih condong kepada anggapan bahwa Sailendra di Indonesia itu berasal dari Fu-nan (Kamboja). Karena kerajaan Fu-nan runtuh, kemudian keluarga kerajaan itu menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad ke-8 M dengan menggunakan nama wangsa Sailendra.

Pendapat bahwa wangsa Sailendra berasal dari India Selatan juga dianut oleh Nilakantasatri dan Moens. Moens menganggap keluarga Sailendra berasal dari India Selatan yang semula berkuasa di Palembang, tetapi pada tahun 683 M melarikan diri ke Jawa karena Sriwijaya diserang dari semenanjung Melayu (1937:317-487).

Pendapat bahwa wangsa Sailendra berasal dari India Selatan ditentang oleh Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut agama Siwa, tetapi sejak Panamkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana (1975:25-38). Pendapat itu didasarkan pada Carita Parahyangan di mana disebutkan bahwa R. Sanjaya menyuruh anaknya R. Panaraban (R.Temperan) untuk berpindah agama, karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.

Pendapat dari Poerbatjaraka diperkuat dengan ditemukannya prasasti Sojomerto. Di dalam prasasti itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayah dan ibunya (Sentanu dan Bhadrawati), serta istrinya yang bernama Sampula. Menurut Boechari tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal bakal raja-raja keturunan Sailendra yang berkuasa di Medang (Boechori 1966:241—51). Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata sansekerta Sailendra karena di dalam prasastinya menggunakan bahasa Melayu Kuna. Jika demikian, kalau keluarga Sailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Sailendra. Berdasarkan peleografinya prasasti Sojomerto diduga berasal dari sekitar pertengahan abad ke- 7M. Kemudian bagaimana kelanjutannya untuk sampai kepada Panamkaran? Setelah prasasti Sojomerto ada prasasti Canggal yang berasal dari tahun 732 M. Di dalam prasati itu disebutkan Sanjaya mendirikan lingga di atas bukit Sthirangga untuk tujuan kesalamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sanjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; raja Sanna mempunyai saudara perempuan yang bernama Sannaha, ibu dari Sanjaya. 1)

Dari prasati Sojomerto dan prasati Canggal telah telah diketahui tiga nama penguasa, yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sanjaya. Raja Sanjaya berkuasa pada tahun 717 M, yaitu permulaan tarikh Sanjaya, yang digunakan oleh Daksa dalam dua prasastinya. Dari Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa Sena (raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sanjaya naik tahta tahun 717 M, maka Sanna naik tahta tahun 710 M. Hal ini berarti, untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7), masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai pada Dapunta Selendra.

Di dalam Carita Parahyangan disebutkan: Raja Mindiminyak mendapat putra Sang Sena (Sanna), ia memegang pemerintahan untuk 7 tahun lamanya, dan raja Mindiminyak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan lamanya memerintah raja-raja itu, dapat diperkirakan bahwa raja Mindiminak mulai berkuasa sejak tahun 703 M. Ini berarti sekurang-kurangnya masih ada 1 orang penguasa lagi.

Berita Cina dari masa dinasti T’ang memberitakan tentang kerajaan Ho-ling yang disebut She-p’o (= Jawa). Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu ratu Hsi-mo (ratu Simo). Ratu ini memerintah dengan baik. (Groenevelt 1960:14). Mungkin ratu ini sebagai pewaris dari Dapunta Selendra? Apabila mungkin, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Medang, yaitu Dapunta Selendra (?-674 M), ratu Simo (674-703 M), Mindiminyak (703-710 M), R.Sanna (710-717 M), dan R.Sanjaya (717-714 M).


III
Sanjaya memerintah di kerajaan Medang sampai sekitr 745 M. Berdasarkan penafsiran prasasti raja Sankhara, ia wafat karena sakit selama 8 hari. Anaknya yang bernama Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto 1984:109). Di dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan Panamkaran. Oleh Poerbatjaraka Panamkaran disamakan dengan Panaraban dalam Carita Parahyangan.

Apabila ia berpedoman bahwa sebuah naskah atau prasasti disebut sejauh apa yang diketahui penulis, maka Carita Parahyangan ditujukan kepada R. Panaraban (R. Temperan) dan prasasti Sankhara ditujukan kepada Sankhara (Panamkaran). Jadi, Panaraban tidak identik dengan Panamkaran seperti yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Apalagi di dalam prasasti Wanua Tnah III disebutkan Panaraban berkuasa setelah Panamkaran, yaitu pada tahun 784 M (Joko Dwiyanto 1966:96). Dengan demikian dapat diduga bahwa Sanjaya mempunyai dua isteri dari daerah yang berbeda. Istri pertama berasal dari daerah Jawa yang menurunkan Sankhara (Panamkaran), sedang istri kedua berasal dari daerah Sunda menurunkan R. Panaraban (R.Temperan). 2)

Menurut prasasti Wanua Tnah III, Panamkaran naik tahta pada tanggal 7 Oktober 746 M. Menurut de Casparis raja ini adalah raja bawahan dari raja Sailendra yang tidak disebut namanya di dalam prasasti Kalasan. Raja ini harus membantu raja Sailendra dalam membuat bangunan suci bagi dewi Tara. Menurut Coedes raja Sailendra berasal dari Fu-nan dan menganut agama Buddha (1934:66-70). Ia kemudian berhasil menaklukan raja-raja dari wangsa Sanjaya yang telah berkuasa di Jawa Tengah dan menganut agama Siwa (de Casparis 1956). Seandainya dugaan Casparis bahwa Rakai Panamkaran seorang raja bawahan itu benar, mengapa sebagai raja bawahan ia menggunakan gelar Sri Maharaja yang artinya ‘raja besar’, padahal gelar yang biasa dipakai oleh raja bawahan adalah haji atau samyahaji (Eddy Wuryantoro 1983:606). Lagi pula mengapa raja Sailendra meminta bantuan dan bukan memerintahkan raja bawahan untuk membuat bangunan suci bagi dewi Tara? Kalau raja Sailendra meminta bantuan, konotasinya Panamkaran adalah raja besar yang membawahi raja Sailendra atau setidaknya mempunyai kedudukan yang sejajar dengan raja Sailendra.

Dalam prasasti Kalasan, Panamkaran disebut dengan nama “... maharaja dyah pancapana panamkaran”, sedangkan dalam prasasti Mentyasih disebut “... sri maharaja rakai panamkaran”. Dari dua nama itu yang perlu dibicarakan adalah gelar sri maharaja. Gelar sri maharaja yang berkaitan dengan masalah ini di temukan juga di dalam prasasti Ligor dan Nalanda. Di dalam kedua prasasti itu disebutkan juga nama Sailendra dan julukan yang artinya ‘pembunuh musuh- musuh yang gagah perkasa’ (wirawairimathana). Nama Sailendra dam julukannya itu ditemukan juga dalam prasasti Klurak dan Kalasan. Tetapi di dalam prasasti Klurak terdapat nama Dharanindra.

Di dalam prasasti Klurak disebutkan pendirian sebuah bangunan suci buat Manjusri atas perintah Dharanindra pada tahun 782 M. Raja ini juga disebut dalam prasasti Ligor. Prasasti Nalanda menyebutnya sebagai Sailendrawansatilaka, ‘mustika keluarga Sailendra’ dan memperoleh julukan sri wirawairimathana ‘pembunuh pahlawan musuh’, sedangkan julukan dalam prasasti Klurak adalah Wairiwarawiramardhana ‘pembunuh pahlawan terkemuka musuh’. Didalam prasasti Ligor disebut nama Wisnu, ‘pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa’, dan karena ia keturunan wangsa Sailendra maka ia bergelar Sri Maharaja. Dalam prasasti Nalanda ia disebut sebagai kakek Balaputradewa, dengan sebutan raja Jawa, mustika kekuarga Sailendra, Sri Wirawairimarthana, ia beranak Samaratungga yang kawin dengan Tara, anak Dharmasetu dari keluarga Soma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘mustika keluarga Sailendra’ adalah raja yang diberi julukan ‘pembunuh musuh-musuh tidak bersisa’, raja ini tidak lain adalah Panamkaran yang disebut dalam prasasti Kalasan, Mantyasih, dan Wanua Tnah III.

Panamkaran menjadi penguasa di Medang dengan gelar Sri Maharaja Rakai Panamkaran dyah Sankhara (Pancapana) Sri Sangramadhananjaya. Ia memerintah sampai tahun 784 M. Kemudian diganti oleh Rakai Panaraban menurut prasasti Wanua Tnah III. (†)



Catatan
1. Pada jaman dulu nenek moyang kita menggunakann konsep Kaliyuga untuk membenarkan fakta sejarah tentang tergulingnya seorang maharaja oleh raja bawahannya (Schrieke 1957:77-81). Berdasarkan kepercayaan ini lamanya pemerintahan satu dinasti sekitar 100 tahun atau runtuhnya pada pemerintahan raja keempat dari pendiri dinasti. Biasanya raja yang menggantikannya itu mengumpamakan dirinya sebagai Sri Rama atau titisan dewa Wisnu. Kejadian runtuhnya kerajaan adalah pralaya. Raja akhir yang wafat pada waktu pralaya misalnya Wawa (?), Dharmawangsa Tguh, dan Krtanegara. Dharmawangsa Tguh merupakan merupakan raja keempat dari wangsa Isana, dan Krtanegara merupakan raja keempat dari wangsa Rajasa.

Di dalam prasasti Canggal disebutkan bahwa raja Sanna wafat, dunia ini terpecah dan kebingungan karena kehilangan pelindungnya. Di dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa kerajaaan Sanna diserang oleh raja Purbasora, kemudian Sanna melarikan diri ke gunung Merapi. Dari dua sumber itu dapat disimpulkan bahwa pada waktu Sanna memerintah telah terjadi penyerangan terhadap kerajaannya. Setelah kerajaan Sanna hancur kemudian muncul Sanjaya sebagai penggantinya. Sebagai tanda penyatuan kerajaan Sanjaya mendirikan lingga di bukit Sthirangga.

Pada umumnya setelah habis pralaya terjadi pergantian keluarga yang memerintah. Dalam masalah kerajaan Medang tidak demikian kejadiannya. Keluarga yang memerintah di medang tetap masih keturunan dari raja yang sebelumnya. Penggantinya (Sanjaya) dikatakan masih kemenakan dari Sanna (anak Sannaha). Mungkin ia anak dari Sanna dan Sannaha akibat perkawinan keluarga.


2. Di dalam naskah Pustaka Rajyawarnana i Bhumi Nusantara disebutkan, Sanjaya mempunyai dua istri, yaitu dewi Sekar Kancana dari Sunda dan dewi Sudhiwara dari Keling (Jawa). Dewi Sekar Kancana dengan Sanjaya mempunyai anak R. Panaraban (R. Temperan) yang kemudian berkuasa di Sunda, sedang dewi Sudhiwara dengan Sanjaya mempunyai anak Panangkaran yang kemudian berkuasa di Medang (Ayat Rohaedi 1986:4-7). Rupa-rupanya kekuasaan masing-masing anak menurut asal ibunya dan lagi Sanjaya dikatakan pernah berkuasa di Sunda (724-732 M) dan berkuasa di Jawa (732-754 M). Saya masih meragukan keotentikan naskah itu karena demikian lengkapnya menguraikan kejadian sejarah seperti yang telah diuraikan dalam Kitab Sejarah Nasional Indonesia II. Sebagai contoh misalnya nama Panunggalan. Nama itu hanya ada dalam prasasti Mantyasih dan hanya ditulis dalam kitab Sejarah Nasional II. Di dalam prasasti Mantyasih ia disebutkan setelah Panamkaran. Dari prasasti Wanua Tnah III ia tidak disebut sedang yang disebut Panaraban.

Apabila kita menganggap prasasti merupakan data sejarah yang otentik, mengapa nama Panunggalan tidak disebut dalam prasasti Wanua Tnah III. Untuk itu dibutuhkan pengenalan lebih mendalam tentang keotentikan naskah dan yang lebih mendukung proses pengenalan terhadap persoalan diatas, adalah sistem tata nilai dan cara pandang pada perkembangan sejarah penguasa ketika mereka mendirikan wangsa baru. Ini berhubungan dengan sistem nilai religius.

( ‡ )

(Kembali ke awal tulisan ini, wangsa Sailendra adalah titik awal dan pusat perkembangan Agama Buddha Mahayana di Jawa, sementara di daerah Sunda hal tersebut tidak muncul. Dalam masyarakat mereka cara hidup lama (Hinduism) yang dipertahankan. Korelasi ini disambungkan terus menerus melalui ritus ‘perkawinan dalam keluarga’, yang akan memberi mereka kekuasaan untuk meluaskan wilayah dengan mendirikan wangsa baru. Penyebaran ajaran yang baru (Budhha Mahayana) tetap berdampingan dengan yang lama dalam masyarakat mereka, sementara pelebaranya terus ke arah timur sampai kejayaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, arah perkembangannya mulai kembali ke tengah dan pedalaman..

Satu ciri yang menarik untuk dicermati dari proses pergeseran kekuasaan di atas adalah, bahwa berdirinya kerajaan baru,karena pelebaran wilayah ataupun pergantian sistem kepercayaan dari elit penguasanya, bukan semata mata ‘power oriented’. Hal ini merupakan ciri utama dan dasar pembentukkan watak peradaban di tanah Jawa, yakni tanah perdikan ! Raja sebagai penguasa lebih
bertanggung jawab untuk membangun peradaban sistem nilai kebudayaan masyarakatnya dari pada mempertahankan status quo. Hal ini, pasti ditandai dengan dibebaskannya pajak bagi wilayah yang merupakan perdikan beserta sarana penyangga kehidupan masyarakatnya (ternak) Tanah perdikan merupakan tempat untuk mempertahankan dan mengajarkan nilai-nilai moral, entah itu adat istiadat ataupun agama, dan dari situlah tatanan dasar masyarakat diperkembangkan -Red).



Daftar Pustaka

Atja dan Ayatrohaedi
1986 Negarakretabhumi I.5 Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan. Depdikbud.

Ayatrohaedi
1986 “Hubungan Keluarga antara Sanjayawangsa dan Sailendrawangsa” .
Dalam Romantika Arkheologia, hal. 4-7. Jakarta: Keluarga Mahasiwa Arkeologi
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Boechari
1966 “Peminary Report on the Discovery of Old Malay Incription at Sojomerto”
Dalam MISI 3 Hlm. 2–3; 241-251.
Bosch
1925 “Een oorkonde van het groot kloster van Nalanda”. Dalam TBG 65 : 509-588.
1928 “De Inscriptie van Kelurak”. Dalam TBG 68: 1-64.
1975 Crivijaya, Cailendra dan Sanjayavamca, (seri terjemahan no.50). Jakarta :
Bhratara

De Casparis, J.G.
1956 Inscrities uit de Cailendra-tijd. Bandung: Masa Baru.

Coedes, G.
1918 “Le Royaume de Crivijaya”, BEFEO 18: 1-36.
1934 “The Origin of the Cailendra of Indonesia”. JGIS I : 66-70.

Damais, L.C.
1970 Repertoire onomastique de l’epigrphi Javanaise. Paris : Ecole Francaise
d’extreme-Orient.

Djoko Dwiyanto
1986 “Pengamatan Terhadap Tata Kesejarahan dari prasasti Wanua Tnah III tahun
908 M”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV No. Iia. Aspek Sosial Budaya ,
hlm. 92-110. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Edhi Wuryantoro
1983 “Sanjaya, Sailendra dan Kelingwangsa (sebuah tulisan pendahuluan)”.
Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, hlm. 92-110. Jakarta : PPAN.

Groeneveldt, W.P.
1960 Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources.
Jakarta : Bhratara.

Majundar, R.C.
1933 “Les rois Cailendra de Suvarnadvipa”. BEFEO 33: 121-141.

Naerssen, van
1947 “The Cailendra Interregnum”, dalam India Antiqua 249-253.

Poerbatjaraka, R. Ng.
1978 Crivijaya, Cailendra, dan Sanjayawamca. (Seri terjemahan No. 50).
Jakarta: Bhratara.

Schrieke, B.J.O.
1957 Indonesian Sosiological Studies. Part Two: Ruler and Realm in Early Java.
The Haque/Bandung: W. Van Hoeve.

Mulyana, Slamet
1981 Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Sutterheim, W.F.
1927 “Een Belangrijke oorkonde uit de Kedoe”. TBG 67: 173-216.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar