Cari Blog Ini

Kamis, 29 April 2010

Upacara Ruwat di Jawa

Silardjo Pontjosutirto
(Universitas Gajah Mada)

(Ritus Peralihan di Indonesia, disusun oleh Koentjaraningrat. Penerbit PN Balai Pustaka 1985)

1. PENDAHULUAN
Beberapa sarjana Barat seperti J.A. Niels Mulder berpendapat bahwa bangsa Indonesia, khususnya suku bangsa Jawa mempunyai sifat seremonial. Hampir pada tiap peristiwa yang dianggap penting, baik yang menyangkut segi kehidupan seseorang, baik yang bersifat keagamaan atau kepercayaan, maupun yang mengenai usaha seseorang dalam mencari penghidupan, pelaksanaanya selalu disertai upacara.
Dalam perjalanan hidup seseorang, mulai dari dalam kandungan ibunya sampai pada waktu ia meninggal dunia, pada saat-saat tertentu orang akan mengadakan berbagai upacara yang diperuntukan baginya, seperti upacara tingkeban, kelahiran, selapanan, tedak sinten,khitanan, perlawinan, kematian, dan lain-lain. Di dalam antropologi upacara-upacara semacam itu lazim disebut ritus peralihan. Dalam bulan-bulan tertentu orang mengadakan upacara yang bersifat keagamaan, misalnya ruwahan, selikuran , lebaran, sawalan, besaran, suran, saparan, muludan dan lain-lain. Sedangkan di dalam mencari penghidupan, terutama bagi golongan petani, dikenal upacara-upacara yang bersangkutan dengan bercocok tanam, seperti upacara wiwit, tandur, entas-entas, methik, bersih desa dan lain-lain.
Disamping berbagai upacara tersebut, ada lagi jenis upacara yang sedikit banyak berhubungan dengan kepercayaan, yang sumbernya berasal dari jaman sebelum agama Islam mempengaruhi kehidupan kebudayaan orang Jawa, terutama pada waktu lampau, ialah upacara ruwat atau disebut Ruwatan.
Ruwat dalam bahasa Jawa sama dengan kata luwar, berarti lepas atau terlepas. Diruwat artinya dilepaskan atau dibebaskan. Pelaksanaan upacara itu disebut ngruwat atau ruwatan, berarti melepaskan atau membebaskan, ialah membebaskan atau melepaskan dari hukuman atau kutukan dewa yang menimbulkan bahaya, malapetaka atau keadaan yang menyedihkan. Ngruwat dapat juga berarti dipulihkan atau dikembalikan pada keadaan semula, tetapi juga menolak bencana yang diyakini akan menimpa pada diri seseorang, mentawarkan atau menetralisir kekuatan gaib yang akan membahayakan.
Upacara ruwat yang biasa dilakukan orang hingga sekarang termasuk dalam arti yang kedua, yaitu suatu upacara yang diadakan sebagai sarana yang dijalankan oleh seseorang supaya dapat terhindar dari marabahaya yang diramalkan akan menimpa diri seseorang.
Dipandang dari sudut pembiayaannya, upacara ruwat termasuk upacara besar, yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun orang yang percaya tidak segan-segan mengeluarkan anggaran yang besar untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Maka untuk menadakan upacara ruwat diperlukan rencana dan persiapan lebih dahulu, dan hal itu biasanya memakan waktu yang cukup panjang pula.
Dewasa ini di kalangan masyarakat kota upacara semacam itu sudah jarang dilakukan lagi, akan tetapi di desa-desa, terutama di pelosok, adat itu masih banyak dilakukan. Masyarakat masih yakin adanya bahaya yang selalu mengancam, selama upacara itu belum diselenggarakan.
Di muka telah diterangkan, bahwa di kota-kota sudah jarang terdapat upacara ruwat. Kalau toh ada, mereka yang menyelenggarakan itu adalah orang-orang yang masih taat akan adat istiadat nenek moyang mereka yang dipegang teguh sejak dulu. Golongan orang semacam itu tidak hanya terbatas pada orang kebanyakan, tetapi diantaranya terdapat pula sarjana atau cendekiawan dan pejabat tinggi.


2. UNTUK APA ORANG MENGADAKAN RUWATAN
Menurut keyakinan orang Jawa banyak sekali hal atau peristiwa yang akan dapat mendatangkan malapetaka, apabila orang tidak menghiraukan dan berikhtiar secara khusus. Maka supaya terhindar dari bencana yang setiap saat dapat terjadi, diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Syarat itu ialah kewajiban orang untuk mengadakan upacara ruwat.
Hal-hal yang dianggap memerlukan upacara itu paling sedikit dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu :
1. Upacara ruwat bagi orang atau anak yang dianggap mempunyai nasib buruk, karena disebabkan kelahirannya.
2. Upacara ruwat bagi orang atau anak yang cacat tubuhnya.
3. Upacara ruwat bagi orang yang dianggap bersalah, karena telah melanggar pantangan atau merusak benda-benda tertentu.

Upacara ruwat bagi anak yang benasib buruk. Dasar dari adanya upacara ini ialah, karena adanya suatu keyakinan bahwa seorang anak atau beberapa orang dari satu keluarga itu dapat dipastikan bernasib buruk, karena sifat kelahirannya. Anak-anak semacam itu di dalam bahasa Jawa disebut bocah sukerta. Kata sukerta berasal dari kata suker yang artinya kotor, dalam keadaan tidak bersih atau berdosa. Mereka juga dikatakan lahir salah, dalam bahasa Jawa dikatakan salah kedaden. Mereka itulah yang memperoleh hukuman terkena kutuk. Cepat atau lambat mereka akan mengalamai nasib buruk tertimpa bahaya maut. Dalam keyakinan orang Jawa, mereka itu dinasibkan akan menjadi umpan dewa Kala. Mereka hanya dapat terlepas, keluar dari bencana, apabila untuk mereka diadakan upacara ruwat, sesuai dengan ketentuan yang ada sejak dulu.
Siapa saja yang termasuk dalam golongan anak sukerta itu, daerah satu dan lainya ada perbedaan, baik mengenai istilah maupun dalam jumlahnya. Misalnya di daerah Wanasaba ada enam macam anak sukerta, di Bagelen ada sembilan macam, di dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa, karangan Mangkunegoro VII disebutkan 14 macam, di dalam Pakem Pangruwatan Murwakala karangan Ki Demang Reditanoyo disebutkan 60 macam, sedang R. Ng. Ronggowarsito dalam karangan Serat Pustaka Raja Purwa menerangkan ada 136 macam anak sukerta.
Menurut Serat Pedalangan Ringgit Purwa kombinasi anak dalam satu keluarga yang termasuk golongan anak sukerta adalah :
1. Anak ontang-anting ialah anak tunggal pria.
2. Anak unting-unting ialah anak tunggal wanita.
3. Anak lumunting ialah anak ketika lahir tanpa tembuni.
4. Anak sarimpi ialah anak empat bersaudara perempuan.
5. Anak saramba ialah anak empat beraudara pria.
6. Anak pandhawa ialah anak lima bersaudara pria.
7. Anak pandhawi ialah anak lima bersaudara wanita.
8. Anak pandhawa madangake ialah anak empat bersaudara pria, seorang pria.
9. Anak pandhawa ipil-ipil ialah anak lima bersaudara, empat orang pria, seorang wanita.
10. Anak uger-uger ialah dua orang bersaudara pria.
11. Anak kembang sepasang ialah dua orang bersaudara wanita.
12. Anak gendhana-gendhini ialah dua orang bersaudara, pria dan wanita.
13. Anak sendhang kaapit ialah tiga orang bersaudara, pria, wanita, pria.
14. Anak pancuran kaapit ialah tiga orang bersaudara, wanita, pria, wanita.

Anak-anak cacad badan adalah, misalnya :
1. Anak bule, anak balar atau bulai.
2. Anak wungkuk ialah anak bongkok.
3. Anak kresna atau cemani ialah anak berkulit hitam.
4. Anak wijil ialah anak kerdil.
5. Anak dhengkak ialah anak berdada ke depan.

Orang yang merusak barang tertentu adalah kecuali anak atau orang yang telah disebutkan si atas, juga golongan orang yang dianggap bernasib malang, tidak berbeda dengan anak-anak sukerta itu, kerena merekapun akan tertimpa bencana pula. Mereka termasuk orang yang karena keteledorannya melanggar pantangan, merusakan barang-barang tertentu, seperti:
1. Menggulingkan dandang (tempat menanak nasi).
2. Mematahkan gandhik (alat batu berbentuk silinder, yang digunakan untuk menggilas ramuan obat-obatan).
3. Memecahkan pipisan (alat batu berbentuk segi empat yang digunakan sebagai tempat untuk menghaluskan ramuan obat-obatan).

Supaya mereka terhindar dari nasip yang buruk, mereka harus diruwat pula. Dewasa ini upacara ruwat bagi orang-orang semacam itu sudah jarang sekali ditemui. Hal ini disebabkan karena keyakinan orang terhadap pantangan-pantanagan itu sudah menipis, juga kemungkinan pelanggaran pantangan semacam itu semakin langka, karena alat-alat seperti pipisan dan gandhik sekarang sudah bukan merupakan alat untuk keperluan sehari-hari.


3. CERITA TENTANG TERJADINYA UPACARA RUWAT
Kepercayaan tentang datangnya malapetaka yang akan menimpa anak sukerta dan orang-orang yang bernasib sial lainnya itu pada dasarnya berasal dari keyakinan akan sebuah cerita lama, yaitu dari sebuah cerita wayang purwa, yang disebut Murwakala atau Purwakala. Purwa berarti asal atau permulaan, kala berarti bencana, jadi asal mula dari bencana. Di daerah lain lakon itu disebut Dhalangkarungrungan atau Dhalang Kalunglungan. Pada dasarnya cerita itu mengisahkan asal dari lahirnya dewa raksasa bernama Kala dan mengenai kehidupannya selanjutnya. Cerita itu di daerah satu dengan lainnya ada berbagai variasi, meskipun tidak prinsipial, karena pada dasarnya berasal dari sumber yang sama.
Menurut Pakem Pedhalangan, dalam garis besarnya cerita itu adalah sebagai berikut :
“Pada suatu ketika Dewa Siwa bercengkerama dengan permaisurinya yang sangat cantik, yaitu Dewi Uma. Mereka terbang di atas samudra dengan naik lembu tunggangannya bernama Lembu Andhini. Di atas samudra itu Siwa melihat permaisurinya sangat menggairahkan, sehingga timbul hasratnya untuk bersatu rasa. Akan tetapi Dewi Uma tidak berkenan di hati, maka benih Siwa jatuh di tengah lautan.
Setelah masanya benih itu berubah menjadi makhluk, kian lamz kian besar, akhirnya menjadi seorang raksasa yang besar dan sakti. Ia naik ke Suralaya, tempat bersemayamnya para dewa, bermaksud untuk menemui Siwa. Setelah sampai di tempat yang di tuju dan bertemu Siwa ia bertanya siapakah yang menurunkannya dan ia minta agar ditunjukkan manusia-manusia yang bagaimanakah yang diperkenankan untuk menjadi mangsanya. Dewa Siwa mengakui bahwa ia adalah putra Siwa sendiri, dan diberi nama Batara Kala. Untuk makannya Siwa menyebutkan macam-macam manusia yang termasuk anak sukerta.
Maka Dewa Kala minta ijin turun ke dunia untuk mencari mangsa, yaitu manusia-manusia yang telah ditentukan diperuntukkan baginya. Ia menuju ke Danau Madirda. Sepeninggal Dewa Kala, Siwa sadar, bahwa jumlah manusia yang disebutkan tadi terlalu banyak, sehingga apabila tidak dihalangi mungkin manusia akan punah dari muka bumi. Dewa Siwa tidak sampai hati hal itu akan terjadi. Ia memerintahkan kepada Dewa Narada agar menugaskan Dewa Wisnu untuk menjadi dhalang membatalkan perintah yang telah diberikan kepada Dewa Kala. Dewa Narada ditugaskan untuk menjadi panjak (penyanyi), Dewa Brahma menjadi penabuh gender (macam gamelan). Maka ketiga dewa turun ke bumi. Dewa Wisnu yang kemudian berganti nama Dhalang Kandabuana bertugas meruwat manusia-manusia sukerta yang ditakdirkan menjadi umpan Dewa Kala. Dengan demikian mereka dapat diselamatkan.
Diceritakan pula, bahwa pada waktu itu ada seorang janda di desa Mendangkawit, bernama Sumawit. Ia mempunyai anak laki-laki menjelang remaja bernama Joko Jatusmati. Karena ia anak tunggal, agar supaya selamat ia disuruh ibunya pergi mandi di Danau Madirda. Patuh kepada perintah ia menuju danau yang ditunjuk ibunya. Setelah sampai di danau itu ia berjumpa dengan Dewa Kala yang minta kesediaan pemuda itu untuk dimakan, karena ia termasuk manusia yang menjadi mangsanya.
Sadar akan bahaya yang mengancamnya Jaka Jatusmati segera melarikan diri sedangkan Dewa Kala mengejar kemana saja dia pergi. Ia bersembunyi di antara orang-orang yang sedang mendirikan rumah. Tetapi akhirnya ditemukan oleh Dewa Kala, maka kejar-kejaran terjadi di tempat pembanguan rumah itu, sehingga akhirnya rumah itu roboh. Pemuda itu kemudian bersembunyi di tempat orang yang sedang membuat jamu (obat) yang menggunakan pipisan. Di sinipun diketahui oleh Dewa Kala, dalam usahanya untuk menghindarkan diri ia terantuk pada pipisan sehingga benda itu patah. Selanjutnya ia bersembunyi di dalam dapur yang kebetulan sedang dipakai untuk menanak nasi. Di sinipun terjadi kejar-kejaran pula, sehingga menyebabkan dandang (tempat untuk menanak nasi) roboh. Jaka Jatusmati melarikan diri keluar dari dapur melalui halaman depan rumah. Di dalam usahanya mengejar pemuda itu di tengah halaman Dewa Kala terjatuh, karena terlilit oleh batang waluh (cucurbita pepo) yang kebetulan ditanam di halaman itu. Sehingga ia kehilangan arah ke mana mangsanya melarikan diri.
Di desa Medangkamulan terdapat seorang laki-laki bernama Buyut Wangkeng. Ia mempunyai anak tunggal bernama Rara Pripih yang baru saja dikawinkan. Akn tetapi kedua suami istri itu belum rukun, bahkan sang istri minta kepada ayahnya agar diceraikan dari suaminya. Maksudnya tidak disetujui oleh ayahnya. Akhirnya ia membatalkan niatnya setelah ayahnya mengabulkan permintaannya untuk mengadakan ruwat dengan mengadakan pertunjukan wayang. Buyut Wangkeng segera menyuruh menantunya mencarikan dalang yang bersedia mempergelarkan pertunjukkan wayang untuk meruwat anaknya. Maka dipanggilah Dhalang Kandhabuana.(Dalam upacara ruwat, nama desa Medangkamulan diganti dengan desa tempat tinggal oarang yang mengadakan upacara ruwat, Buyut Wangkeng dengan nama orang yang meruwat dan Rara Pripih dengan nama anak yang sedang diruwat.).
Pada waktu yang telah ditetapkan pagelaran wayang terus dimulai, banyak sekali orang yang melihat. Di antara penonton itu terdapat pula Jaka Jatusmati, demikian pula Dewa Kala. Di dalam pagelaran wayang Dhalang Kandhabuana mengucapkan bermacam-macam mantera dan membaca tulisan-tulisan yang terdapat dalm tubuh Dewa Kala. Akhirnya Dhalang Kandhabuana sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dapat menyelesaikan tugasnya, menghalang-halangi Dewa Kala dalam hal mengejar-ngejar manusia yang menjadi mangsanya. Bahkan Dewa Kala dapat dihalau kembali ke tempatnya semula. Demikian pula anak buah dan pengikutnya, seperti kalabang, kala jengking dan lain-lainnya dapat dimusnahkan dengan mengucapkan mantera-mantera tertentu. Setelah itu bumi menjadi damai dan aman kembali.
Pada waktu hendak kembali ke tempat asalnya baik Dewa Kala, Durga dan lain-lain minta bagian dari sajian yang telah disediakan. Dewa Kala minta batang pisang, entog, itik, dan burung merpati. Durga minta kain Sindur dan Bangun Tulak. Kecuali itu tokoh lain seperti Dewi Sri dan Sadana, Kebo Gedeg dan Kebo Geleg dan lain-lain (mereka bukan tokoh jahat) minta bagian pula. Mereka berperan dan memberi petuah supaya mereka yang diruwat memperoleh keselamatan.
Dengan demikian maka sebagai unsur pokok di dalam upacara ruwatan selanjutnya, disamping orang yang menyediakan sajen (sajian) dan syarat lainnya yang harus dipenuhi, orang harus mengadakan upacara pagelaran wayang purwa, dengan cerita khusus Murwakala, cerita riwayat kehidupan Dewa Kala.

4. BERBAGAI CARA MENYELENGGARAKAN RUWATAN
Di muka telah diutarakan, bahwa upacara ruwat termasuk upacara besar, hampir seperti upacara khitanan dan perkawinan. Penyelenggaraannya membutuhkan biaya yang besar pula. Apabila demikian maka hanya orang-orang yang berada sajalah yang mampu menyelenggarakan upacara semacam itu, tetapi dalam hal itu kenyataannya lain. Karena pada hakekatnya ada upacara ruwat yang bentuknya lebih sederhana dan biayanya pun tidak terlalu besar, sehingga penyelenggaraannya dapat terjangkau oleh mereka yang kurang mampu. Maka dalam kenyataannya ada tiga macam cara untuk mengadakan upacara ruwat yaitu: Upacara ruwat bagi mereka yang mampu biasanya dengan mengadakan pagelaran wayang purwa, Upacara ruwat bagi mereka yang kurang mampu, Upacara ruwat bagi mereka pemeluk Islam yang kuat, tetapi masih belum dapat melepaskan adat nenek moyang.

Jalannyan Upacara Ruwat dengan Pementasan Wayang. Pada umumnya orang yang mengadakan ruwatan kurang mengetahui sendiri seluk-beluk upacara itu. Sebagai orang awam mereka kurang begitu paham barang-barang apakah dan syarat-syarat apakah yang harus disediakan dan kapankah hal itu sebaiknya diselenggarakan. Maka dari itu mereka hanya mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh sang dalang dan menyediakan segala perlengkapan dan barang-barang yang dimintanya.
Dalam upacara ruwat, sajian (sajen) merupakan syarat yang penting. Padahal jumlahnya sangat banyak bila dibandingkan dengan sajian pada pagelaran wayang kulit biasa, bahkan ada kalanya beberapa dari barang-barang itu sekarang sekarang ini sudah langka didapat, sehingga orang susah mencarinya. Meskipun demikian orang tetap diwajibkan menyediakannya dengan lengkap, tidak boleh terlupakan sebuahpun. Menurut pakem Murwakala jenis barang sajen itu jumlahnya tidak kurang dari 38 macam, ialah :
1. Tuwuhan, yaitu pisang dengan buahnya, cengkir (kelapa yang masih muda), janur (daun kelapa muda), pohon tebu masing-masing dua pasang dan dipajangkan di kanan dan kiri kelir (layar atau tabir untuk mempergelarkan wayang).
2. Padi segedheng, empat ikat padi sebelah menyebelah.
3. Cikal, sebuah kelapa yang bertunas sebelah menyebelah.
4. Sebatang tebu sebelah menyebelah.
5. Dua ekor ayam, jantan dan betina.
6. Empat batang kayu Walikukun masing-masing kira-kira sehasta.
7. Ungker siji, satu penggulung benang.
8. Empat buah ketupat luwar (bebas, terlepas).
9. Selembar tikar.
10. Sebuah bantal baru.
11. Sebuah sisir.
12. Sebuah suri (sisir yang bergigi rapat untuk mencari kutu).
13. Sebuah cermin.
14. Sebuah payung.
15. Minyak wangi.
16. Tujuh macam kain batik dengan tujuh motif hiasan ialah; poleng, bang sedodol,luwuh watu, dringin songer,lawatan, gadhung mlati, pandhang binetot, kembang teloken.
17. Daun lontar satu genggam.
18. Dua buah pisau baja.
19. Dua butir telur ayam.
20. Gedhang ayu, pisang yang sudah masak, biasanya pisang pulut atau pisang raja, suruh ayu dengan perlengkapannya, krambil grondhil (kelapa tanpa sabut), gula setangkep, beras sepitrah, ayam panggang tindhih selawe uang (uang yang diletakkan di atas sajen, 25 uang).
21. Air tujuh macam, yang diambil dari tujuh tempat atau sumber.
22. Seikat lawe (benang bahan tenun)
23. Minyak kelapa untuk blencong (lampu khusus untuk penerangan dalam pertunjukkan wayang kulit).
24. Nasi gurih dan daging ayam yang dimasak dengan santan.
25. Satu guci badheg (arak yang dibuat dari kilang enau).
26. Satu guci tetes (dibuat dari kilang tebu).
27. Tujuh macam nasi tumpeng (nasi dibentuk kuncup).
28. Tujuh macam jadah (kue Jawa dibuat dari beras ketan).
29. Jajan pasar (makanan berupa kue-kue yang dibeli di pasar).
30. Kupat lepet.
31. Legendah.
32. Pula gimbal, pula gringsing.
33. Jenang abang, jenang bawok, jenang lemu (macam jenang)
34. Gecok mentah, gecok bakal, gecok lele urip.
35. Rujak legi, rujak crobo.
36. Dandang dan perkakas masak lengkap.
37. Kendil berisi air penuh.
38. Pelita baru yang dinyalakan.

Berbeda upacara pementasan wayng kulit pada umumnya, yang biasanya dilakukan pada malam hari dan berlangsung hingga semalam suntuk, maka pementasan wayang pada upacara ruwat biasanya diadakan pada siang hari dan hanya makan waktu kira-kira tiga sampai empat jam saja. Cerita yang dipentaskan harus cerita Murwakala, sedangkan meskipun dilaksanakan pada siang hari, dalam pementasan wayang ruwatan, blencong harus tetap dinyalakan.
Lakon Murwakala seperti lakon Bratajuda, dianggap sebagai lakon yang keramat. Dengan demikian tidak setiap orang berani mementaskan dan tidak sembarang dalang mau memainkannya.
Terutama dalam upacara ruwat dalang yang dipercaya untuk melakukan harus seorang dalang yang telah cukup tua dan sedapat mungkin seorang dalang yang turun temurun keturunan dalang pula. Dikatakan bahwa sebelum menjalankan tugasnya dalang ini harus membersihkan diri dulu dengan berpuasa. Ada kalanya ia pergi ke tempat-tempat keramat (pundhen) yang dihormati agar dapat menjalankan tugasnya dengan selamat. Itupun apabila ada kekurangan baik mengenai sajen maupun kekhilafan dalang, hal itu akan mendatangkan resiko. Kegawatan dari pementasan wayang dalam ruwatan itu diterangkan oleh seorang dalang Kraton Kasunanan Surakarta, bahwa ada seorang rekannya setelah selesai menjalankan pementasan wayang untuk upacara ruwatan meninggal, setelah diteliti ada kekurangan dalam mempersiapkan sajian dalam upacara itu.
Upacara ruwatan dimulai dengan cara memandikan anak yang diruwat itu, pada pagi hari kira-kira jam 09.00 yang harus ditangani sendiri oleh ibu dari anak yang bersangkutan. Air yang digunakan adalah air setaman, atau air yang dibarui bunga-bunga yang harum. Selesai dimandikan anak itu diberi pakaian yang indah, kemudian dengan diantar oleh dalang dan neneknya dihadapkan kedua orang tuanya untuk bersujud. Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan selamatan dan doa yang dilakukan oleh dalang, dan yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat tuan rumah.
Anak beserta orang tua dan neneknya dipersilakan duduk di dekat dalang. Demikian pula sajiannya, setelah diteliti oleh dalang diletakkan di atas meja yang telah disediakan sebelumnya. Sebelum gamelan mulai dipukul, dalang menyerahkan lima potong batang tebu wulung, 21 kuntum kembang melati dan sebuah tunas kelapa (cikal) kepada keluarga anak dan sebagai gantinya ia minta baju dalam dari si anak yang bersangkutan.
Sesudah upacara selesai, dalang mulai dengan mementaskan dengan membawakan lakon Murwakala yang diselesaikan kira-kira tiga jam. Pada waktu hampir berakhir, dalang menghentikan permainan sejenak, untuk melakukan upacara srah-srahan (serah terima) dan potong rambut. Anak yang diruwat diantar oleh kedua orang tuanya dengan membawa sebuah gunting dan sehelai sapu tangan menghadap dalang. Mereka menyampaikan hajatnya kepada dalang dan memintanya agar dalang meruwat anak mereka. Dalang menerima anak itu dan dipangkunya dan sekali lagi menyuruh anak itu bersujud pada ayah ibunya. Setelah selesai ibunya memotong seberkas kecil rambut anaknya dengan gunting dan ditaruh di dalam sapu tangan, kemudian diserahkan dalang. Maka pementasan wayang yang hampir selesai tu dilanjutkan kembali. Setelah pertunjukkan berakhir orang tua beserta anaknya menghadap dalang untuk mengucapkan terima kasih. Sedangkan dalang menyerahkan kembali potongan rambut dan pakaian dalam si anak kepada ibunya. (Cara ini dilakukan oleh Ki Nartosabdo)
Biasanya karena penyelenggaraan pertunjukkan wayang kulit untuk ruwatan itu berlangsung pada siang hari, dan hanya memakan waktu kurang lebih tiga jam saja, maka pada sore harinya pertunjukkan wayang dilanjutkan lagi tetapi sekarang semalam suntuk, sambil kekuarga dan kerabat dekat anak yang diruwat mengadakan tirakatan. Lakon yang diambil dalm pementasan itu tidak tentu, akan tetapi biasanya dipilih cerita yang mengandung makna bagi kelangsungan hidup anak yang baru diruwat itu.

Upacara Ruwat Bagi Orang Yang Kurang Mampu. Pada dasarnya pelaksanaan upacara ruwat bagi orang yang kurang mampu tidak berbeda dengan upacara ruwat lengkap, sepertiterurai di atas. Hanya bersifat lebih sederhana, dengan demikian biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar. Adapun mengenai unsur-unsur sajian yang diperlukan di dalm upacara itu tetap sama seperti upacara lengkap. Perbedaannya hanya terletak pada pementasan wayangnya..
Di atas telah diutarakan, bahwa pementasan wayang merupakan unsur pokok dalam upacara ruwatan. Untuk keperluan itu orang harus menyediakan biaya yang tidak sedikit, terutama apabila orang mendatangkan dalng terkenal. Maka bagi orang yang kurang mampu dimungkinkan untuk mengadakan upacara ruwat, hanya dengan mengundang dalngnya saja, tanpa membawa wayang dan gamelan. Di dalam upacara itu dalng hanya bertugas sekedar bercerita saja mengenai riwayat Dewa Kala seperti yang terdapat dalam Murwakala. Sesudah bercerita maka diadakanlah upacara pengguntingan rambut anak yabf diruwat dan selesailah upacaranya.

Upacara Ruwat Bagi Pemeluk Agama Islam Yang Ketat. Perbedaan mendasar tidak terletak pada unsur pokoknya saja, tetapi juga jenis sajian yang dipersiapkan. Unsur pokok pada upacara ruwat ini bukan pagelaran wayang kulit, melainkan pembacaan kitab Qur’an sampai khatam, yaitu selesainya hingga 30 jus. Pelaksanaannya dilakukan pada setiap malam hari dan selesainya tergantung dri jumlah orang yang membacanya. Kalau orangnya banyak maka dapat selesai dalam dua atau tiga malam, tetapi adapula kasus yang baru bisa selesai setelah tujuh malam.
Malam pembacaan terakhir merupakan puncak dari upacara. Pada malam itu diadakan sedekah dan sajian yang disediakan antara lain :
1. Air setaman dalam belanga.
2. Pisang raja setangkep (dua sisir)
3. Sekul wuduk (nasi gurih).
4. Ingkung ayam (daging ayam yang telah dimasak).
5. Jajan pasar (macam-macam kue yang dibeli dipasar).
6. Sekul golong (nasi yang dibentuk setengah bulatan)
7. Sekul tumpeng (nasi yang dibentuk kerucut).
8. Lauk pauk gudhangan (macam-macam sayur yang direbus dan diberi sambal kelapa).
9. Rujak-rujakan (macam-macam buah seperti mangga muda, mentimun, nanas, dan lain-lain yang dipotong-potong dimakan dengan sambal.
10. Kue terdiri dari kue apem (kue yang dibuat dari beras ketan), dan kolak.

Setelah selesai sedekahan, upacara dilanjutkan dengan pengguntingan rambut dan memandikan anak yang diruwat. Dalam upacara mandi, anak disiram berganti-ganti oleh kerabat dari keluarga itu yang dianggap tua, sedangkan air yang dipakai untuk memandikan adalah air setaman yang telah disediakann sebagai sajian tadi. Pada waktu menyiramkan air setaman, mereka mengucapkan “Allahu Akbar’ dan dengan berakhirnya upacara mandi maka selesai pula upacara itu.

5. BEBERAPA PANTANGAN AKIBAT CERITA MURWAKALA
Kecuali pantangan-pantangan yang diwajibkan bagi orang untuk mengadakan upacara ruwat, orang Jawa masih mempunyai keyakinan bahwa ada beberapa hal atau perbuatan lain yang apabila tidak dihindari akan mendatangkan bencana pula. Hal tersebut berhubungan dengan keadaan Dewa Kala dalam cerita Murwakala ketika sedang mengejar mangsanya, seperti :
1. Orang tidak boleh membiarkan bambu yang tidak beruas tinggal utuh (pring wung-wung).
2. Orang tidak boleh menanam pohon waluh di halaman muka rumah.
3. Orang tidak boleh membiarkan rumahnya yang belum selesai dibangun tidak diberi tutup keyong (penutup rumah di samping pada sisih atap).
4. Anak gadis tidak boleh duduk di muka pintu.
5. Orang tidak boleh membuang kutu yang masih hidup.
6. Orang tidak boleh meninggalkan beras dalam lesung.
7. Orang tidak boleh jisim lumampah (berarti jenasah berjalan) ialah orang yang seorang diri bepergian jauh.
8. Orang tidak boleh bathang ucap-ucap (jenasah yang telah busuk berbicara) ialah dua orang bersama bepergian jauh.
9. Orang tidak boleh gotong mayit (mengusung jenasah), tiga orang bersama bepergian jauh.
10. Orang yang membuat rumah supaya menjaga rumah itu tidak mendadak roboh sebelum selesai.

Meskipun pantangan-pantangan itu kalau dilanggar tidak mengharuskan orang untuk mengadakan upacara ruwat, akan tetapi hingga kini masih ada keyakinan bahwa hal-hal semacam itu masih merupakan perbuatan yang patut dihindari.

6. MOTIVASI UNTUK UPACARA RUWAT
Hal–hal yang berhubungan dengan diadakannya upacara ruwat merupakan sesuatu yang tersembunyi dan membuat orang berada dalam situasi yang tidak seimbang. Oleh masyarakat anak yang termasuk dalam golongan sukerta digolongkan menjadi tiga. Golongan pertama dan kedua disebut bocah salah kedaden, jadinya atau lahirnya salah. Maka kesalahan itu agar tidak berakibat buruk bagi yang bersangkutan dan mungkin juga bagi masyarakat, harus diadakan upacara selamatan.
Bagi golongan pertama, selamatan tersebut merupakan semacam upacara krisis, keluarga yang mengadakan itu hidupnya tidak tenang, karena selalu dalam keadaan khawatir. Maka agar dapat tentram dan tenang, terutama agar anak-anak mereaka sehat dan selamat, mereka mengadakan upacara tersebut. Misalnya keluarga yang hanya mempunyai seorang anak (ontang-anting), bukan merupakan keluarga yang ideal. Suami istri tidak tentram karena apabila suatu ketika anaknya meninggal, maka hal itu merupakan bencana besar bagi keluarga itu.
Golongan kedua dianggap pula anak-anak yang sial, karena mempunyai cacat pada tubuhnya. Menurut keyakinan orang Jawa, mereka itu mempunyai kekuatan gaib, orang-orang yang memiliki mana yang besar. Orang dapat mengingat kembali pada jaman para raja dahulu, mereka memelihara orang-orang cacat untuk menambah kekuatan, tetapi bagi keluarga orang biasa kekuatan gaib yang ada pada anak itu dapat pula berakibat buruk atau membahayakan keluarga orang tuannya.
Golongan ketiga dimaksud sebagai usaha untuk menegakkan norma-norma baik norma keagamaan, norma kesusilaan, maupun norma adat sopan santun. Orang Jawa menghendaki tata tertib, sikap berhati-hati, berdisiplin, hemat, sopan santun dan lain-lain.
Dandang dan pipisan pada jaman dahulu merupakan alat yang sangat penting dalm kehidupan rumah tangga sehari-hari, maka barang siapa merusaknya akan mendapat sangsi yang sangat berat. Sangsi itu mengharuskan orang mengadakan upacara selamatan yang memakan biaya sangat besar. Dengan demikian orang selalu berhati-hati dalam menggunakan alat-alat itu.
Pelanggaran-pelanggaran yang lebih ringan, misalnya anak gadis yang duduk di depan pintu, membuang sampah di bawah kolong, menanam waluh di muka halaman, meninggalkan beras di dalam lesung, dan lain-lain, merupakan pelanggaran sopan santun, perbuatan ceroboh, tidak cermat, sehingga sangsinya tidak begitu berat sampai perlu mengadakan upacara ruwat. Di dalam masyarakat Jawa pantangan-pantangan semacam itu hanya mendapat ancaman atau peringatan keras denga kata ora ilok, yang artinya bagi orang kebanyakan tidak diketahui pasti, tetapi telah cukup membuat anak takut dan mengurungkan maksudnya.
Semasa orang Jawa masih percaya dewa-dewa, maka segala sesuatu akan dihubungkan dengan keyakinan itu. Hukuman atau sangsi yang dijatuhkan, merupakan penderitaan atau kesengsaraan, dianggap berasal dari dewa pula, yaitu dari dewa yang mendatangkan malapetaka ialah Dewa Kala.
Pertunjukkan wayang dahulu mendominasi segala macam upacara orang Jawa yang penting. Seperti upacara sepanjang lingkaran hidup seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, upacara desa dan lain-lain. Maka upacara ruwat pun tidak ketinggalan dihubungkan dan diselenggarakan dengan mengadakan pertunjukkan wayang. (Wuihh,... wayang buanget ! -Red)

8. MAKNA SAJIAN PADA UPACARA
Sesuai denga pendapat Prof. Dr. J. Van Baal dalam bukunya Symbols of Communication (1971), bahwa sajian merupakan pemberian atau persembahan kepada dewa dan roh, hal tersebut bukan saja apa yang digemari oleh para dewa dan roh tetapi mengandung lambang-lambang guna berkomunikasi dengan dewa tersebut. Misalnya itik, enthog, dan burung merpati menjadi kegemaran Betara Kala, kain bangun tulak adalah kain kegemaran Dewi Durga, kain pandhan binethot kegemaran Dewi Sri dan lain-lain. Demikian pula sajian-sajian yang disediakan oleh pemeluk Islam, misalnya nasi wuduk (nasi yang dibuat gurih dengan santan) dikatakan untuk dipersembahkan kepada Nabi Muhammad, karena orang Jawa mengasosiasikan nasi santan dan nasi yang bercampur dengan minyak samin yang diketahui orang Jawa adalah makanan orang Arab.
Disamping itu semua unsur sajian pada hakikatnya satu demi satu dari aspek namanya, bentuknya, sifatnya, warnanya, mengandung makna dan merupakan lambang. Tiap-tiap benda itu masing-masing mengutarakan harapan tertentu. Misalnya janur (daun kelapa muda) singkatan dari kata jatining nur berarti cahaya yang hakiki. Cengkir (kelapa muda) berarti kata kencenging pikir, ketetapan pikiran. Tebu dari antheping kalbu, berarti ketetapan hati. Kupat Luwar, laku papat dan luar, berati empat jalan pembebasan (catari arya sangghas).
Demikian pula sajian yang dihidangkan oleh pemeluk Islam. Misalnya nasi golong, atau geleg (gilig) berarti bersatu. Nasi golong dipersembahkan kepada 25 rasul denga maksud agar mereka bersama-sama memberi berkat. Kue apem, ketan, dan kolak oleh orang Jawa dihubungkan dengan kata Arab : afun yang berarti ampun, khataan yang berarti kesalahan, dan khalik yang berarti pencipta, maka ketiganya berarti “minta ampun segala kesalahan kepada sang Pencipta”.
Dewasa ini sudah jarang orang yang dapat menafsirkan seluruh jenis sajian yang dihidangkan dalm upacara ruwat itu, tetapi meskipun demikian orang taat dalam mengusahakannya dan menyediakan barang-barang itu, karena kalau kurang lengkap kemungkinan besar upacara itu tidak mencapai maksud yang dikehendaki, bahkan dapat mendatangkan bencana.


Daftar Pustaka

Brandon, J. R.
1974 Theatre in Southeast Asia. Cambrige, Massachusetts, Havard University Press.
Dapperen, J. W. Van
1934 Het Tegalsche Roewat. Djawa.XIV : hlm. 223-230.
Inggris
1923 Het Roewatfeest in de desa Karangdjati in Bagelen. Djawa, III: hlm. 45-50.
Mangkunegoro. K.G.P.A.A.
1965 Serat Pedhalangan Ringgit Purwa, Yogya. UP. Indonesia.
Muljono, Sri
1979 Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Jakarta, Gunung Agung.
Niels Mulder, J.A.
1973 Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Jogjakarta. Gadjah Mada
University Press.
Pontjosutirto, Sularjo
1961 Lapaoran Etnografi dari daerah Kabupaten Wanasaba, Yogyakarta,
Panitia Social Research UGM.

Rakai Panamkaran Dyah Sankhara Sri Sangramadhananjaya

By Bambang Budi Utomo
(Terbitan berkala arkeologi Amerta no.11, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional 1989)

I
Nama Panamkaran ditemukan dalam prasasti Kalasan tahun 778 M (... maharajam dyah pancapanam), prasasti Mentyasih tahun 907 M (...sri maharaja rakai panamkaran), dan prasasti Wanua Tnah III tahun 908 M (... rakai panankaran). Adapun yang menjadi persoalan tokoh ini ditemukan pada prasasti Kalasan; bahwa dalam prasasti itu antara lain disebutkan, Gururaja Sailendra mohon kepada Maharaja dyah Pancapana Panamkaran, agar beliau membangun bangunan suci untuk dewi Tara dan untuk keperluan pemeliharaannya, desa Kalasan dijadikan tanah perdikan (Slamet Mulyana 1981:146). Persoalannya, apakah Panamkaran yang disebutkan itu berkedudukan sebagai raja bawahan yang bukan anggota wangsa Sailendra atau sebaliknya, karena dalam prasasti itu seolah-olah terdapat dua nama, Sailendraraja dan Panamkaran (van Naerssen 1947: 249-253).

Mengenai persoalan itu sudah banyak dibicarakan oleh para ahli sejarah kuna, dan lagi telah diterangkan dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia II. Dalam tulisan ini saya coba menerangkan bahwa Panamkaran termasuk keluarga Sailendra. Untuk itu saya hendak memulainya dari pendahulu Panamkaran.


II
Di Indonesia nama Sailendrawamsa dijumpai pertama kali dalam prasasti Kalasan tahun 778 M. Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak tahun 782 M (Bosch 1928 : 1-56), dalam prasasti Abhayagiriwihara tahun 792 M (Damais 1970 : 512), dan prasasti Kayuwuhan tahun 824M (de Casparis 1956 : 38-41). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor tahun 775 M (Coedes 1912 : 19-31) dan prasasti Nalanda (Bosch 1925 : 509-527). Mengenai asal usul wangsa Sailendra banyak dipermasalahkan oleh beberapa sarjana. Majundar berpendapat bahwa wangsa Sailendra di Indonesia, baik yang di Sriwijaya (Sumatra) maupun yang di Jawa, berasal dari Kalingga, India Selatan (1933:121-144), Coedes lebih condong kepada anggapan bahwa Sailendra di Indonesia itu berasal dari Fu-nan (Kamboja). Karena kerajaan Fu-nan runtuh, kemudian keluarga kerajaan itu menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad ke-8 M dengan menggunakan nama wangsa Sailendra.

Pendapat bahwa wangsa Sailendra berasal dari India Selatan juga dianut oleh Nilakantasatri dan Moens. Moens menganggap keluarga Sailendra berasal dari India Selatan yang semula berkuasa di Palembang, tetapi pada tahun 683 M melarikan diri ke Jawa karena Sriwijaya diserang dari semenanjung Melayu (1937:317-487).

Pendapat bahwa wangsa Sailendra berasal dari India Selatan ditentang oleh Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut agama Siwa, tetapi sejak Panamkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana (1975:25-38). Pendapat itu didasarkan pada Carita Parahyangan di mana disebutkan bahwa R. Sanjaya menyuruh anaknya R. Panaraban (R.Temperan) untuk berpindah agama, karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.

Pendapat dari Poerbatjaraka diperkuat dengan ditemukannya prasasti Sojomerto. Di dalam prasasti itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayah dan ibunya (Sentanu dan Bhadrawati), serta istrinya yang bernama Sampula. Menurut Boechari tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal bakal raja-raja keturunan Sailendra yang berkuasa di Medang (Boechori 1966:241—51). Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata sansekerta Sailendra karena di dalam prasastinya menggunakan bahasa Melayu Kuna. Jika demikian, kalau keluarga Sailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Sailendra. Berdasarkan peleografinya prasasti Sojomerto diduga berasal dari sekitar pertengahan abad ke- 7M. Kemudian bagaimana kelanjutannya untuk sampai kepada Panamkaran? Setelah prasasti Sojomerto ada prasasti Canggal yang berasal dari tahun 732 M. Di dalam prasati itu disebutkan Sanjaya mendirikan lingga di atas bukit Sthirangga untuk tujuan kesalamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sanjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; raja Sanna mempunyai saudara perempuan yang bernama Sannaha, ibu dari Sanjaya. 1)

Dari prasati Sojomerto dan prasati Canggal telah telah diketahui tiga nama penguasa, yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sanjaya. Raja Sanjaya berkuasa pada tahun 717 M, yaitu permulaan tarikh Sanjaya, yang digunakan oleh Daksa dalam dua prasastinya. Dari Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa Sena (raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sanjaya naik tahta tahun 717 M, maka Sanna naik tahta tahun 710 M. Hal ini berarti, untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7), masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai pada Dapunta Selendra.

Di dalam Carita Parahyangan disebutkan: Raja Mindiminyak mendapat putra Sang Sena (Sanna), ia memegang pemerintahan untuk 7 tahun lamanya, dan raja Mindiminyak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan lamanya memerintah raja-raja itu, dapat diperkirakan bahwa raja Mindiminak mulai berkuasa sejak tahun 703 M. Ini berarti sekurang-kurangnya masih ada 1 orang penguasa lagi.

Berita Cina dari masa dinasti T’ang memberitakan tentang kerajaan Ho-ling yang disebut She-p’o (= Jawa). Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu ratu Hsi-mo (ratu Simo). Ratu ini memerintah dengan baik. (Groenevelt 1960:14). Mungkin ratu ini sebagai pewaris dari Dapunta Selendra? Apabila mungkin, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Medang, yaitu Dapunta Selendra (?-674 M), ratu Simo (674-703 M), Mindiminyak (703-710 M), R.Sanna (710-717 M), dan R.Sanjaya (717-714 M).


III
Sanjaya memerintah di kerajaan Medang sampai sekitr 745 M. Berdasarkan penafsiran prasasti raja Sankhara, ia wafat karena sakit selama 8 hari. Anaknya yang bernama Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto 1984:109). Di dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan Panamkaran. Oleh Poerbatjaraka Panamkaran disamakan dengan Panaraban dalam Carita Parahyangan.

Apabila ia berpedoman bahwa sebuah naskah atau prasasti disebut sejauh apa yang diketahui penulis, maka Carita Parahyangan ditujukan kepada R. Panaraban (R. Temperan) dan prasasti Sankhara ditujukan kepada Sankhara (Panamkaran). Jadi, Panaraban tidak identik dengan Panamkaran seperti yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Apalagi di dalam prasasti Wanua Tnah III disebutkan Panaraban berkuasa setelah Panamkaran, yaitu pada tahun 784 M (Joko Dwiyanto 1966:96). Dengan demikian dapat diduga bahwa Sanjaya mempunyai dua isteri dari daerah yang berbeda. Istri pertama berasal dari daerah Jawa yang menurunkan Sankhara (Panamkaran), sedang istri kedua berasal dari daerah Sunda menurunkan R. Panaraban (R.Temperan). 2)

Menurut prasasti Wanua Tnah III, Panamkaran naik tahta pada tanggal 7 Oktober 746 M. Menurut de Casparis raja ini adalah raja bawahan dari raja Sailendra yang tidak disebut namanya di dalam prasasti Kalasan. Raja ini harus membantu raja Sailendra dalam membuat bangunan suci bagi dewi Tara. Menurut Coedes raja Sailendra berasal dari Fu-nan dan menganut agama Buddha (1934:66-70). Ia kemudian berhasil menaklukan raja-raja dari wangsa Sanjaya yang telah berkuasa di Jawa Tengah dan menganut agama Siwa (de Casparis 1956). Seandainya dugaan Casparis bahwa Rakai Panamkaran seorang raja bawahan itu benar, mengapa sebagai raja bawahan ia menggunakan gelar Sri Maharaja yang artinya ‘raja besar’, padahal gelar yang biasa dipakai oleh raja bawahan adalah haji atau samyahaji (Eddy Wuryantoro 1983:606). Lagi pula mengapa raja Sailendra meminta bantuan dan bukan memerintahkan raja bawahan untuk membuat bangunan suci bagi dewi Tara? Kalau raja Sailendra meminta bantuan, konotasinya Panamkaran adalah raja besar yang membawahi raja Sailendra atau setidaknya mempunyai kedudukan yang sejajar dengan raja Sailendra.

Dalam prasasti Kalasan, Panamkaran disebut dengan nama “... maharaja dyah pancapana panamkaran”, sedangkan dalam prasasti Mentyasih disebut “... sri maharaja rakai panamkaran”. Dari dua nama itu yang perlu dibicarakan adalah gelar sri maharaja. Gelar sri maharaja yang berkaitan dengan masalah ini di temukan juga di dalam prasasti Ligor dan Nalanda. Di dalam kedua prasasti itu disebutkan juga nama Sailendra dan julukan yang artinya ‘pembunuh musuh- musuh yang gagah perkasa’ (wirawairimathana). Nama Sailendra dam julukannya itu ditemukan juga dalam prasasti Klurak dan Kalasan. Tetapi di dalam prasasti Klurak terdapat nama Dharanindra.

Di dalam prasasti Klurak disebutkan pendirian sebuah bangunan suci buat Manjusri atas perintah Dharanindra pada tahun 782 M. Raja ini juga disebut dalam prasasti Ligor. Prasasti Nalanda menyebutnya sebagai Sailendrawansatilaka, ‘mustika keluarga Sailendra’ dan memperoleh julukan sri wirawairimathana ‘pembunuh pahlawan musuh’, sedangkan julukan dalam prasasti Klurak adalah Wairiwarawiramardhana ‘pembunuh pahlawan terkemuka musuh’. Didalam prasasti Ligor disebut nama Wisnu, ‘pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa’, dan karena ia keturunan wangsa Sailendra maka ia bergelar Sri Maharaja. Dalam prasasti Nalanda ia disebut sebagai kakek Balaputradewa, dengan sebutan raja Jawa, mustika kekuarga Sailendra, Sri Wirawairimarthana, ia beranak Samaratungga yang kawin dengan Tara, anak Dharmasetu dari keluarga Soma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘mustika keluarga Sailendra’ adalah raja yang diberi julukan ‘pembunuh musuh-musuh tidak bersisa’, raja ini tidak lain adalah Panamkaran yang disebut dalam prasasti Kalasan, Mantyasih, dan Wanua Tnah III.

Panamkaran menjadi penguasa di Medang dengan gelar Sri Maharaja Rakai Panamkaran dyah Sankhara (Pancapana) Sri Sangramadhananjaya. Ia memerintah sampai tahun 784 M. Kemudian diganti oleh Rakai Panaraban menurut prasasti Wanua Tnah III. (†)



Catatan
1. Pada jaman dulu nenek moyang kita menggunakann konsep Kaliyuga untuk membenarkan fakta sejarah tentang tergulingnya seorang maharaja oleh raja bawahannya (Schrieke 1957:77-81). Berdasarkan kepercayaan ini lamanya pemerintahan satu dinasti sekitar 100 tahun atau runtuhnya pada pemerintahan raja keempat dari pendiri dinasti. Biasanya raja yang menggantikannya itu mengumpamakan dirinya sebagai Sri Rama atau titisan dewa Wisnu. Kejadian runtuhnya kerajaan adalah pralaya. Raja akhir yang wafat pada waktu pralaya misalnya Wawa (?), Dharmawangsa Tguh, dan Krtanegara. Dharmawangsa Tguh merupakan merupakan raja keempat dari wangsa Isana, dan Krtanegara merupakan raja keempat dari wangsa Rajasa.

Di dalam prasasti Canggal disebutkan bahwa raja Sanna wafat, dunia ini terpecah dan kebingungan karena kehilangan pelindungnya. Di dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa kerajaaan Sanna diserang oleh raja Purbasora, kemudian Sanna melarikan diri ke gunung Merapi. Dari dua sumber itu dapat disimpulkan bahwa pada waktu Sanna memerintah telah terjadi penyerangan terhadap kerajaannya. Setelah kerajaan Sanna hancur kemudian muncul Sanjaya sebagai penggantinya. Sebagai tanda penyatuan kerajaan Sanjaya mendirikan lingga di bukit Sthirangga.

Pada umumnya setelah habis pralaya terjadi pergantian keluarga yang memerintah. Dalam masalah kerajaan Medang tidak demikian kejadiannya. Keluarga yang memerintah di medang tetap masih keturunan dari raja yang sebelumnya. Penggantinya (Sanjaya) dikatakan masih kemenakan dari Sanna (anak Sannaha). Mungkin ia anak dari Sanna dan Sannaha akibat perkawinan keluarga.


2. Di dalam naskah Pustaka Rajyawarnana i Bhumi Nusantara disebutkan, Sanjaya mempunyai dua istri, yaitu dewi Sekar Kancana dari Sunda dan dewi Sudhiwara dari Keling (Jawa). Dewi Sekar Kancana dengan Sanjaya mempunyai anak R. Panaraban (R. Temperan) yang kemudian berkuasa di Sunda, sedang dewi Sudhiwara dengan Sanjaya mempunyai anak Panangkaran yang kemudian berkuasa di Medang (Ayat Rohaedi 1986:4-7). Rupa-rupanya kekuasaan masing-masing anak menurut asal ibunya dan lagi Sanjaya dikatakan pernah berkuasa di Sunda (724-732 M) dan berkuasa di Jawa (732-754 M). Saya masih meragukan keotentikan naskah itu karena demikian lengkapnya menguraikan kejadian sejarah seperti yang telah diuraikan dalam Kitab Sejarah Nasional Indonesia II. Sebagai contoh misalnya nama Panunggalan. Nama itu hanya ada dalam prasasti Mantyasih dan hanya ditulis dalam kitab Sejarah Nasional II. Di dalam prasasti Mantyasih ia disebutkan setelah Panamkaran. Dari prasasti Wanua Tnah III ia tidak disebut sedang yang disebut Panaraban.

Apabila kita menganggap prasasti merupakan data sejarah yang otentik, mengapa nama Panunggalan tidak disebut dalam prasasti Wanua Tnah III. Untuk itu dibutuhkan pengenalan lebih mendalam tentang keotentikan naskah dan yang lebih mendukung proses pengenalan terhadap persoalan diatas, adalah sistem tata nilai dan cara pandang pada perkembangan sejarah penguasa ketika mereka mendirikan wangsa baru. Ini berhubungan dengan sistem nilai religius.

( ‡ )

(Kembali ke awal tulisan ini, wangsa Sailendra adalah titik awal dan pusat perkembangan Agama Buddha Mahayana di Jawa, sementara di daerah Sunda hal tersebut tidak muncul. Dalam masyarakat mereka cara hidup lama (Hinduism) yang dipertahankan. Korelasi ini disambungkan terus menerus melalui ritus ‘perkawinan dalam keluarga’, yang akan memberi mereka kekuasaan untuk meluaskan wilayah dengan mendirikan wangsa baru. Penyebaran ajaran yang baru (Budhha Mahayana) tetap berdampingan dengan yang lama dalam masyarakat mereka, sementara pelebaranya terus ke arah timur sampai kejayaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, arah perkembangannya mulai kembali ke tengah dan pedalaman..

Satu ciri yang menarik untuk dicermati dari proses pergeseran kekuasaan di atas adalah, bahwa berdirinya kerajaan baru,karena pelebaran wilayah ataupun pergantian sistem kepercayaan dari elit penguasanya, bukan semata mata ‘power oriented’. Hal ini merupakan ciri utama dan dasar pembentukkan watak peradaban di tanah Jawa, yakni tanah perdikan ! Raja sebagai penguasa lebih
bertanggung jawab untuk membangun peradaban sistem nilai kebudayaan masyarakatnya dari pada mempertahankan status quo. Hal ini, pasti ditandai dengan dibebaskannya pajak bagi wilayah yang merupakan perdikan beserta sarana penyangga kehidupan masyarakatnya (ternak) Tanah perdikan merupakan tempat untuk mempertahankan dan mengajarkan nilai-nilai moral, entah itu adat istiadat ataupun agama, dan dari situlah tatanan dasar masyarakat diperkembangkan -Red).



Daftar Pustaka

Atja dan Ayatrohaedi
1986 Negarakretabhumi I.5 Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan. Depdikbud.

Ayatrohaedi
1986 “Hubungan Keluarga antara Sanjayawangsa dan Sailendrawangsa” .
Dalam Romantika Arkheologia, hal. 4-7. Jakarta: Keluarga Mahasiwa Arkeologi
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Boechari
1966 “Peminary Report on the Discovery of Old Malay Incription at Sojomerto”
Dalam MISI 3 Hlm. 2–3; 241-251.
Bosch
1925 “Een oorkonde van het groot kloster van Nalanda”. Dalam TBG 65 : 509-588.
1928 “De Inscriptie van Kelurak”. Dalam TBG 68: 1-64.
1975 Crivijaya, Cailendra dan Sanjayavamca, (seri terjemahan no.50). Jakarta :
Bhratara

De Casparis, J.G.
1956 Inscrities uit de Cailendra-tijd. Bandung: Masa Baru.

Coedes, G.
1918 “Le Royaume de Crivijaya”, BEFEO 18: 1-36.
1934 “The Origin of the Cailendra of Indonesia”. JGIS I : 66-70.

Damais, L.C.
1970 Repertoire onomastique de l’epigrphi Javanaise. Paris : Ecole Francaise
d’extreme-Orient.

Djoko Dwiyanto
1986 “Pengamatan Terhadap Tata Kesejarahan dari prasasti Wanua Tnah III tahun
908 M”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV No. Iia. Aspek Sosial Budaya ,
hlm. 92-110. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Edhi Wuryantoro
1983 “Sanjaya, Sailendra dan Kelingwangsa (sebuah tulisan pendahuluan)”.
Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, hlm. 92-110. Jakarta : PPAN.

Groeneveldt, W.P.
1960 Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources.
Jakarta : Bhratara.

Majundar, R.C.
1933 “Les rois Cailendra de Suvarnadvipa”. BEFEO 33: 121-141.

Naerssen, van
1947 “The Cailendra Interregnum”, dalam India Antiqua 249-253.

Poerbatjaraka, R. Ng.
1978 Crivijaya, Cailendra, dan Sanjayawamca. (Seri terjemahan No. 50).
Jakarta: Bhratara.

Schrieke, B.J.O.
1957 Indonesian Sosiological Studies. Part Two: Ruler and Realm in Early Java.
The Haque/Bandung: W. Van Hoeve.

Mulyana, Slamet
1981 Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Sutterheim, W.F.
1927 “Een Belangrijke oorkonde uit de Kedoe”. TBG 67: 173-216.

Minggu, 18 April 2010

" gerbang baka "


06 April 2010 jam 23:28
tempat ber-kubunya Bala Putra Dewa ketika hendak meng-kudeta Rakai Pikatan ~ Bala Putra Dewa putra Samaratungga, penguasa Wangsa Saylendra thn. 812 - 833 M, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mega proyek Candi Borobudur ~ Rakai Pikatan penguasa Wangsa Sanjaya thn. 838 - 856 M, KPA proyek Candi Roro Jonggrang, menikah dengan Sri Kahulunan Pramodhawardani ~ Sri Kahulunan Pramodhawardani putri Samaratungga kakak Bala Putra Dewa, pemelihara Candi Plaosan ~ dalam pembrontakan itu Bala Putra Dewa gagal, melarikan diri ke kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi raja disana

(Prasasti Karang Tengah, thn. 824 M)

(m i t o s) " kembang pacar banyu "
14 April 2010 jam 0:43

watu karang bolong di ujung timur pulau Nusa Kambangan ~ lobangnya sebagai pengait tali mistik untuk diikatkan ke watu srandil ~ supaya pulau Nusa Kambangan gak berenang ninggalin Cilacap ~ (konon kabarnya) di watu karang bolong itu ada sebelah telapak kaki Bima (jejak saat mengkaitkan tali kale yach..), yang sebelahnya lagi ada di jambe pitu bukit selok deket watu srandil (melompat saat mengikatkan talinya kale yach..) ~ kayakuwe..!! wkwkwkwkwk